A. KELAHIRAN TUAN GURU KYAI HAJI MUHAMMAD ZAINUDDIN ABDUL MADJID
- Kelahiran
Tuan Guru Kyai Haji Muhammad Zainuddin
Abdul Madjid yang nama kecilnya Muhammad Saggaf dilahirkan pada hari
Rabu, 17 Rabi’ul Awal 1326 [1904 M] di Kampung Berini, Desa Pancor,
Kecamatan Rarang Timur [Sekarang Kecamatan Selong] Lombok Timur Nusa
Tenggara Barat.
Adalah Tuan Guru Kyai Haji Muhammad
Zainuddin Abdul Majid, yang namanya disingkat HAMZANWADI [Haji Muhammad
Zainuddin Abdul Madjid Nahdlatul Wathan Diniyah Islamiyah], yang akrab
dipanggil Maulana Syaikh atau juga akrab dengan panggilan “Tuan Guru
Pancor”, oleh para murid dan jamaahnya secara umum, semasa kecilnya
diberi nama Muhammad Saggaf oleh ayahnya sendiri, yaitu Tuan Guru Haji
Abdul Madjid.
Terdapat keunikan lain seputar
kelahirannya, yaitu adanya cerita gembira yang di bawa oleh seorang
wali, bernama Syaikh Ahmad Rifa’i yang juga berasal dari Maghrabi. Ia
menemui Tuan Guru Haji Abdul Madjid menjelang kelahiran putranya. Syaikh
Ahmad Rifa’i berkata kepada Tuan Guru Haji Abdul Madjid “Akan segera lahir dari istrimu seorang anak laki-laki yang akan menjadi ulama besar”.
Muhammad Saggaf adalah anak bungsu dari
enam bersaudara, yaitu; Siti Sarbini, Siti Cilah, Hajah Saudah, Haji
Muhammad Shabur dan Hajah Masyithah. Keenam putera-puterinya ini
merupakan hasil perkawinan Tuan Guru Haji Abdul Madjid dengan seorang
perempuan yang shalihah, berasal dari desa Kelayu Lombok Timur, bernama
Inaq Syarn dan lebih dikenal dengan Hajah Halimatussa’diyah.
Nama Muhammad Saggaf masih disandangnya
sampai ia berangkat ke Tanah Suci Makkah untuk melaksanakan ibadah haji
bersama ayahnya. Setelah menunaikan ibadah haji, nama Muhammad Saggaf
diganti menjadi Haji Muhammad Zainuddin oleh ayahnya sendiri.
Ikhwal penggantian nama ini, dilatar belakangi oleh ketertarikan
ayahnya kepada nama seorang ulama yang memiliki kepribadian dan akhlak
mulia, yaitu Syaikh Muhammad Zainuddin Senawak, seorang ulama di Masjid
al-Haram. Sejak saat itu namanya kemudian berubah menjadi Haji Muhammad
Zainuddin.
- Pernikahan dan Keluarga Besar
Tuan Guru Kyai Haji Muhammad Zainuddin
Abdul Madjid selama hayatnya telah menikah sebanyak tujuh kali. Dari
ketujuh perempuan yang pernah dinikahinya itu, ada yang mendampinginya
sampai wafat, ada yang wafat terlebih dahulu semasih ia hidup dan ada
juga yang diceraikannya setelah beberapa bulan menikah. Di samping itu,
ketujuh perempuan yang telah dinikahinya itu, berasal dari berbagai
pelosok daerah di Lombok, dan dari berbagai latar belakang. Ada yang
berasal dari keluarga biasa dan ada pula yang berlatar belakang
bangsawan, seperti istrinya yang bernama Hajah Baiq Siti Zuhriyah
Mukhtar, berasal dari Desa Tanjung, Kecamatan Selong.
Adapun nama-nama perempuan yang pernah
dinikahi oleh Tuan Guru Kyai Haji Muhammad Zainuddin Abdul Madjid,
adalah: 1] Chasanah; 2] Hajah Siti Fatmah; 3] Hajah Raihan; 4] Hajah
Siti Jauhariyah; 5] Hajah Siti Rahmatullah; 6] Hajah Baiq Siti Zuhriyah
Mukhtar; dan, 7] Hajah Adniyah.
Selanjutnya dari ketujuh orang
perempuan yang dinikahinya, Tuan Guru Kyai Haji Muhammad Zainuddin Abdul
Madjid, hanya mendapatkan dua orang puteri, yakni Siti Rauhun dari
perkawinannya dengan Hajah Siti Jauhariyah dan Siti Raihanun dari
perkawinannya dengan Hajah Siti Rahmatullah.
Hajah Siti Jauhariyah adalah seorang
perempuan yang tenkenal cantik, hingga pada masa gadisnya, onang sering
menyebutnya sebagai “Kembang dari Kampung Jawa”. Disebut demikian karena
ia adalah puteri dari perkawinan antara seorang wanita Selong yang
bernama Masnah dan pria berasal dan Jawa yang bernama Abdurrahim.
Abdurrahim adalah seorang muballigh yang mengembangkan ajaran Islam di
Kampung Jawa. Tugas sehari-harinya adalah sebagai seorang pejabat
pemerintah pada waktu itu.
Hajah Siti Jauhariyah dipersunting oleh
Tuan Guru Kyai Haji Muhammad Zainuddin Abdul Madjid pada usia yang
sangat muda, yaitu ketika berusia 12 tahun. Setelah menikah pasangan ini
tidak langsung tinggal serumah. Mereka baru tinggal serumah setelah
Hajah Siti Jauhariyah berusia 19 tahun.
Pada tahun 1947, ketika Siti Jauhariyah telah berusia sekitar 20
tahun, ia dinyatakan positif hamil. Kehamilan ini disambut dengan senang
dan gembira, karena setelah lama menikah Tuan Guru Kyai Haji Muhammad
Zaiuddin belum juga diberikan keturunan oleh Allah SWT. Ia bahkan pernah
dikatakan mandul dan tidak akan mendapatkan keturunan.
Mendengar informasi kehamilan Siti Jauhariyah, Tuan Guru Kyai
Muhammad Zainuddin segera datang ke rumahnya untuk menantikan saat-saat
kelahiran anak pertamanya. Pucuk dicinta ulam tiba. Jabang bayi yang
ditunggu-tunggu lahir dengan selamat dan berjenis kelamin perempuan. Ia
kemudian diberi nama Siti Rauhun. Nama tersebut diambil dari bahasa Arab
yang artinya “kegembiraan/ kenikmatan”.
Sedangkan puteri keduanya diberi nama Siti Raihanun, yang akrab
dipanggil Ummi Raihanun. Sebagaimana disebutkan di atas, puteri kedua
adalah buah dari perkawinannya dengan Hajah Siti Rahmatullah.
Siti Rahmatullah adalah puteri dan Guru Hasan, seorang imam khatib
di Masjid distrik Rarang. Perkenalan Tuan Guru Kyai Haji Muhammad
Zainuddin dengan Siti Rahmatullah tenjadi ketika pada suatu hari ayahnya
datang bersilaturrahmi ke rumah Guru Hasan di Rarang. Saat itulah ia
mengutarakan keinginannya untuk menikahkan puteranya dengan puteri Guru
Hasan.
Karena waktu itu Siti Rahmatullah masih sangat kecil dan belum
mempunyai keinginan sama sekali untuk menikah, Tuan Guru Haji Abdul
Madjid hanya berjanji akan menikahkan puteranya dengan Siti Rahmatullah.
Semenjak itu hubungan di antara kedua keluarga ini terbangun dengan
sangat erat. Setiap tahun Tuan Guru Haji Abdul Madjid bersilaturrahmi ke
Rarang, demikian pula sebaliknya. Setelah mencapai usia yang cukup,
barulah keduanya dinikahkan. Dan dari pernikahan ini kemudian lahir
seorang puteri yang diberi nama Siti Raihanun.
Adapun dari istrinya yang lain, ia tidak mendapatkan keturunan,
baik putra ataupun putri. Dan karena hanya mempunyai dua orang puteri
yang bernama Siti Rauhun dan Raihanun, ia juga populer dengan sebutan
“Abu Rauhun wa Raihanun”.
Beliau mengakui bahwa nama kedua puterinya diambil dari Al-Qur’an Surat Al-Waqi’ah ayat 89 yang berbuyi “Fa rauhun wa raiharnen wajannatu na’im”, [maka dia memperoleh ketenteraman dan rezeki serta sorga kenikmatan].
Dari kedua orang putrinya, ia mendapatkan banyak cucu dan
keturunan. Dari Siti Rahun ia memperoleh enam orang cucu, yaitu: 1] Siti
Rahmi Jalilah; 2] Syamsul Lutfi; 3] M. Zainul Majdi; 4] M. Jamaluddin;
5] Siti Suraya; dan, 6] Siti Hidayati.
Sedangkan cucunya yang lalir dari Siti Raihanun, sebanyak tujuh
orang putra dan putri, yaitu: 1] Lalu Gede Wiresakti Amir Murni; 2] Lale
Laksemining Puji Jagat; 3] Lalu Gede Syamsul Mujahidin; 4] Lale al
Yaqutunnafis; 5] Lale Syifa’un Nufus; 6] Lalu Gede Zainuddin al-Tsani;
dan, 7] Lalu Gede Muhammad Fatihin.
Keluarga Besar Tuan Guru Kyai Haji Muhammad Zainuddin Abdul Madjid
PENGEMBARAAN MENUNTUT ILMU
A. PENDIDIKAN FORMAL DI LOMBOK DAN BERGURU PADA KYAI LOKAL
Pengembaraan Tuan Guru Kyai Haji Muhammad Zainuddin Abdul Madjid
menuntut ilmu pengetahuan berawal dari pendidikan di dalam keluarga,
yakni dengan belajar mengaji [membaca Al Qur’an] dan berbagai ilmu agama
lainnya, yang diajarkan langsung oleh Ayahnya, Tuan Guru Haji Abdul
Madjid. Pendidikan yang didapatkan dari Ayahnya ini, dimulai sejak
berusia 5 tahun. Baru setelah berusia 9 tahun ia memasuki pendidikan
formal pada sebuah sekolah umum yang disebut Sekolah Rakyat Negara
[Sekolah Gubernemen] di Selong Lombok Timur.
Setelah menamatkan pendidikan formalnya pada Sekolah Rakyat Negara
pada tahun 1919 M, ia kemudian diserahkan oleh ayahnya untuk belajar
ilmu pengetahuan agama yang lebih luas lagi pada beberapa kiyai lokal
saat itu, antara lain Tuan Guru Haji Syarafuddin dan Tuan Guru Haji
Muhammad Sa’id dari Pancor serta Tuan Guru Abdullah bin Amaq Dulaji dari
Kelayu Lombok Timur. Dari beberapa kyai lokal ini, Tuan Guru Kyai Haji
Muhammad Zainuddin selain mempelajari ilmu-ilmu agama dengan menggunakan
kitab-kitab Arab Melayu, juga secara khusus mempelajani ilmu-ilmu
gramatika bahasa Arab, seperti ilmu Nahwu dan Sharf.
Menjelang musim haji tahun 1341 [1923 M], Muhammad Saggaf yang saat
itu telah mencapai usia 15 tahun, berangkat ke Tanah Suci Makkah dengan
diantar langsung oleh ayah dan ibunya bersama tiga orang adiknya,
yaitu: H. Muhammad Faishal, H. Ahmad Rifa’i dan seorang kemenakannya.
Bahkan ikut serta dalam rombongan ini, salah seorang gurunya, yaitu Tuan
Guru Haji Syarafuddin dan beberapa anggota keluarga dekat lainnya.
B. BELAJAR DI TANAH SUCI MAKKAH
Masa Belajar
Ketika sampai di Makkah Zainuddin Muda belajar pertama kali pada
Syeikh Marzuki, Syeikh Marzuki adalah seorang keturunan Arab kelahiran
Palembang. Ia sudah lama tinggal di Makkah dan mengajar mengaji di
Masjidil Haram.
Beliau mempelajani ilmu sastra dengan spesifikasi syair-syair Arab
kepada ahli syair terkenal di Makkah, yakni Syaikh Muhammad Amin
al-Kutbi. Pada saat itulah ia berkenalan dengan Sayyid Muhsin
al-Palembani, seorang keturunan Arab kelahiran Palembang. Ternyata ia
kemudian menjadi gurunya di Madrasah al-Shaulatiyah. Sayyid Muhsin juga
pendiri Madrasah Darul Ulum yang saat itu amat terkenal di Makkah dan
sebagian besar muridnya berasal dari Indonesia.
Dua tahun setelah terjadinya huru hara di Tanah Suci Makkah, stabilitas keamanan relatif terkendali. Pada saat itu Muhammad
Zainuddin berkenalan dengan seseorang yang bernama Haji Mawardi
dari Jakarta. Dari perkenalan itu, Zainuddin diajak untuk masuk belajar
di sebuah madrasah legendaris di Tanah Suci, yakni Madrasah
al-Shaulatiyah. Madrasah ini didirikan pada tahun 1219 H, oleh seorang
ulama besar imigran India, yaitu Syaikh Rahmatullah Ibnu Khalil al-Hindi
al-Dahlawi. Madrasah ini adalah madrasah pertama sebagai permulaan
sejarah baru dalam dunia pendidikan di Saudi Arabia. Gaungnya telah
menggema ke seluruh dunia dan telah menghasilkan banyak ulama-ulama
besar dunia.
Muhammad Zainuddin masuk di madrasah ini, pada tahun 1345 H [1927
M], Madrasah al-Shaulatiyah di bawah pimpinan cucu dari pendirinya,
yaitu Syaikh Salim Rahtnatullah. Petama kali masuk, ia diantar oleh Haji
Mawardi dan langsung menghadap kepada Syaikh Salim Rahmatullah selaku
pimpinan [Mudir/ Direktur]. Pada hari pertama masuknya, ia bertemu
dengan Syaikh Hasan Muhammad al-Masysyath yang nantinya akan menjadi
gurunya yang hubungannya paling dekat. Di sana juga ia bentemu Syeikh
Sayyid Muhsin al-Musawa, diantara temannya sewaktu belajan syair pada
Syeikh Sayyid Amin al-Kutbi, yang ternyata juga sebagai salah seorang
guru di madrasah ini.
Setiap thullab baru yang masuk, harus mengikuti tes masuk untuk
menentukan kelas yang tepat dan cocok bagi thullab baru tersebut.
Demikian juga dengan Muhammad Zainuddin, ia diuji juga terlebih dahulu.
Dan secara kebetulan ia langsung diuji oleh Mudir al-Shaulatiyah
sendiri, yaitu Syaikh Salim Rahmatullah dan Syaikh Hasan Muhammad
al-Masysyath.
Akhirnya, Syeikh Hasan Muhammad al-Masysyath menentukannya masuk di
kelas III. Padahal ilmu Nahwu-Sharaf yang belum dikuasai diajarkan di
kelas II. Mendengar keputusan tersebut, ia meminta agar diperkenankan
masuk kelas II, dengan alasan ingin mendalami mata pelajaran
Nahwu-Sharaf. Walau pada awalnya Syeikh Hasan bersikeras dengan
keputusannya, namun argumentasi Muhammad Zainuddin membuatnya berfikir
kembali. Kemudian ia mengabulkan permohonan sang murid. Maka resmilah ia
diterima di kelas II.
Ketekunannya dalam belajar membuahkan hasil. Beberapa orang gurunya
mengakui ia tergolong murid yang cerdas. Syaikh Salim Rahmatullah
selalu mempercayakan kepadanya untuk menghadapi Penilik Madrasah
pemerintah Saudi yang seringkali datang ke madrasah itu, Penilik
madrasah itu menganut faham Wahabi. Dan ia satu-satunya murid Madrasah
al-Shaulatiyah yang dianggap menguasai faham Wahabi. Pentanyaan Penilik
itu biasanya menyangkut soal-soal hukum ziarah kubur, tawassul kepada
Anbiya’ dan Auliya’, bernazar menyembelih kambing berbulu hitam atau
putih dan sebagainya. Dan ia selalu berhasil menjawab pertanyaan Penilik
itu dengan memuaskan.
Ketekunannya dalam belajar dan bendiskusi juga diakui oleh salah
seorang teman sekelasnya di Madrasah al-Shaulatiyah tersebut, yaitu
Syaikh Zakaria Abdullah Bila, seorang ulama besar di Tanah Suci Makkah.
Ia mengatakan: “saya teman seangkatan Syaikh Zainuddin, saya telah
bengaul dekat dengannya beberapa tahun. Saya sangat kagum padanya. Dia
sangat cerdas, akhlaknya mulia. Dia sangat tekun belajar, sampai-sampai
jam keluar mainpun diisinya menekuni kitab pelajaran dan berdiskusi
dengan kawan-kawannya.”
Prestasi akademiknya sangat membanggakan. Ia berhasil meraih
peringkat pertama dan juara umum. Di samping itu, dengan kecerdasan yang
luar biasa, ia berhasil menyelesaikan studinya dalam kurun waktu 6
tahun. Padahal lama belajar normal adalah selama 9 tahun, yaitu mulai
dari kelas I sampai dengan kelas IX. Dari kelas II, ia langsung ke kelas
IV. Tahun berikutnya ke kelas VI, dan kemudian pada tahun-tahun
berikutnya secara berturut-turut naik ke kelas VII, VIII dan IX.
Dengan tingkat kecerdasan [IQ] yang sangat tinggi ini, Syaikh
Zakaria Abdullah Bila mengatakan, “Syeikh Zainuddin itu adalah manusia
ajaib di kelasku, karena kegeniusannya yang sangat tinggi dan luar
biasa, saya sungguh menyadari hal ini. Syaikh Zainuddin adalah
saudaraku, karibku, dan kawan sekelasku. Saya belum pernah mampu
mengunggulinya dan saya tidak pernah menang dalam berprestasi dikala
saya dan dia bersama-sama dalam satu kelas di Madrasah As-Saulatiyah
Makkah.”
Lebih jauh Syaikh Zakaria menceritakan: “Pernah sehari sebelum
ujian, saya mengambil sebuah kitab di perpustakaan secara diam-diam dan
membawanya pulang Kitab itu hanya satu di perpustakaan, yang berisi mata
pelajaran yang akan diujikan esok harinya. Hal ini saya lakukan dengan
sengaja agar Syaikh Zainuddin tidak bisa menelaahnya, sehingga dalam
ujian nanti dapat mengalahkannya. Ternyata keesokan harinya dalam ujian,
dia benhasil menjawab semua, pertanyaan dengan sangat baik dalam bentuk
syair [puisi] dalam bahasa Arab.”
Tuan Guru Kyai Haji Muhammad Zainuddin Abdul Madjid berhasil
menyelesaikan studinya di Madrasah al-Shaulatiyah Makkah pada tahun 1351
H. [1933 M] dengan predikat istimewa [Mumtaz]. Predikat istimewa tersebut disertai pula dengan perlakuan yang istimewa dari Madrasah al-Shaulatiyah.
Ijazahnya ditulis tangan langsung oleh seorang ahli khat terkenal
di Makkah saat itu, yaitu al-Khathath al-Syaikh Dawud al-Rumani atas
usul dari Direktur Madrasah al-Shaulatiyah. Kemudian ijazah tersebut
ditanda tangani oleh beberapa orang gurunya. Ijazah tersebut diserah
terimakan kepadanya pada tanggal 22 Dzulhijjah 1353 H.
Setelah tamat di Madrasah al-Shauladyah, ia tidak langsung pulang
ke Indonesia. Tetapi bermukim lagi di Makkah selama 2 tahun sambil
menunggu adiknya yang masih belajar yaitu Haji Muhammad Faishal. Dua
tahun ini dimanfaatkannya untuk belajar, antara lain belajar ilmu Fiqh
kepada Syaikh Abdul Hamid Abdullah al-Yamani.
Dengan demikian, waktu belajar yang ditempuh di Tanah Suci Makkah
adalah selama 13 kali musim haji atau kurang lebih 12 tahun. Berarti
sampai pulang ke kampung halamannya, ia sempat mengerjakan ibadah haji
sebanyak 13 kali.
Guru-gurunya di Masjid al Haram dan Madrasah al-Shaulatiyah
Selama dalam pengembaraannya menuntut ilmu pengetahuan di Tanah
Suci, dan Masjid al-Haram hingga Madrasah al-Shauladyah, ia telah
menuntut ilmu dari beberapa orang guru. Mereka adalah sebagai berikut :
1. Maulana wa Munabbina Abul Barakat al-Ushuli al-Muhaddits al-Shufi al-Syaith Hasan Muhammad al-Masysyath al-Maliki
2. A1-’Allamah al-Syaikh Umar Bajunaid al-Syafi’i;
3. A1-’Allamah al-Syaikh Muhammad Sa’id al-Yamani al-Syafi’i;
4. A1-’Allamah al-Kabir al-Mutafannin Sibawaihi Zamanihi al-Syaikh Ali al-Maliki;
5. A1-’Allamah al-Syaikh Marzuqi al-Palimbani;
6. A1-’Allamah al-Syaikh Abu Bakar al-Palimbani;
7. Al-’Allamah al-Syaikh Hasan Jambi al-Syafi’i;
8. A1-’Allamah al-Syaikh Abdul Qadir al-Mandaili al-Syafi’i;
9. Al-’Allamah al-Syaikh Mukhtar Batawi al-Syafi’i;
10. A1-’Allamah aI-Syaikh Abdullah al-Bukhari al-Syafi’i;
11. A1-’Allamah al-Muhaddits al-Kabir al-Syaikh Umar Hamdan al-Mihrasi al-Maliki;
12. A1-’Allamah Muhaddits al-Syaikh Abdus Sattar al-Shiddiqi Abdul Wahab al-Kuthi al-Maliki;
13. A1-’Allamah al-Kabir al-Syaikh Abdul Qadir al-Syibli al-Hanafi;
14. A1-’Allamah al-Adib al-Syaikh al-Sayyid Muhammad Amin al-Kutbiall-hanafi;
15. Al-Syaikh Muhsin al-Musawa al-Syafi’i;
16. Al-’Allamah al-Falaki al-Syaikh Khalifah al-Maliki;
17. Al-’Allamah al-Jalil al-Syaikh Jamal al-Maliki;
18. A1-’Allamah al-Syaikh al-Shalih Muhammad Shalih al-Kalantani al-Syafi’i;
19. A1-‘Allamah al-Sharfi al-Syaikh Mukhtar Makhdum al-Hanafi;
20. Al-’Allamah al-Syaikh Salim Cianjur al-Syafi’i;
21. A1-’Allamah al-Syaikh al-Sayyid Ahmad Dahian Shadaqi al-Syafi’i;
22. A1-’Allamah al-Mu’arnikh al-Syaikh Salim Rahmatullah al-Malild;
23. A1-’Allamah al-Syaikh Abdul Gani al-Maliki;
24. A1-’Allamah al-Syaikh al-Sayyid Muhammad Arabi al-Tubani al Jazairi al-Maliki;
25. A1-’Allamah al-Syaikh Umar al-Faruq al-Maliki;
26. Al-’Allamah al-Syaikh al-Wa’idh al-Syaikh Abdullah al-Fans;
27. A1-’Allamah al-Syaikh Malla Musa;
Di dalam mengkaji atau mempelajari berbagai disiplin ilmu agama, ia
rnempelajarinya sesuai dengan konsentrasi dan spesialisasi dan
masing-masing guru. Untuk ilmu Tajwid, A1-Qur’an, dan Qira’at
al-Saba’ah, ia belajar pada:
1. A1-’Allamah al-Syaikh Jamal Mirdad;
2. A1-’Allamah al-Syaikh Umar Arba’in;
3. A1-’Allamah al-Syaikh Abdul Lathif Qari’;
4. A1-’Allamah al-Syaikh Muhammad ‘Ubaid.
Sementara pada disiplin ilmu Fiqh, Tashawwuf, Tauhid, Ushul Fiqh dan Tafsir, beliau belajar pada:
1. A1-’Allamah al-Syaikh Umar Bajunaid al-Syafi’i;
2. A1-’Allamah al-Syaikh Muhammad Sa’id al-Yamani;
3. A1-’Allamah al-Syaikh Mukhtar Batawi;
4. A1-’Allamah al-Syaikh Abdul Qadir al-Mandaili;
5. A1-’Allamah al-Faqih al-Syaikh Abdu1 Hamid Abdur Rabb al-Yamani;
6. A1-’Allamah al-Sayyid Muhsin al-Musawa;
7. A1-’Allamah al-Adib al-Syaikh Abdullah al-Lahaji al-Farisi;
Pada disiplin ilmu ‘Arudl [syair bahasa Arab], ia belajar pada:
1. A1-’Allamah al-Syaikh Abdul Ghani al-Qadli;
2. A1-’Allamah al-Adib al-Sayyid Muhammad Amin al-Kutbi;
Pada disiplin ilmu Falak beliau belajar pada:
1. A1-’Allamah Kiyai Salim Cianjur;
2. A1-’Allamah al-Falaki al-Syaikh Khalifah;
3. A1-’Allamah al-Sayyid Ahmad Dahlan;
Pada disiplin ilmu Hadits, Mushthalah al- Hadits, Mushthalah
at-Tafsir, Fara’idh, Sirah/ Tarikh, dan berbagai ilmu gramatika bahasa
Arab [Nahwu, Sharf], ia belajar pada:
1. A1-’Allamah al-Kabir al-Mutafannin Sibawaihi Zamanihi al-Syaikh Ali al-Maliki;
2. A1-’Allamah al-Jalil al-Syaikh Jamal al-Maliki;
3. A1-’Allamah al-Mubaddits al-Kabir al-Syaikh umar Hamdan;
4. A1-’Allamah al-Syaikh Abdullah al-Bukhari al-Syafi’i;
5. Maulana wa Murabbina Abi al-Barakat al-’Allamah Ushuli
al-Muhaddits al-Shufi al-Syaikh Hasan Muhammad al-Masysyath Maliki;
6. Al-Sharfi al-Mahir al-Syaikh Mukhtar Makhdum al-Hanafi;
7. A1-’Allamah al-Syaikh al-Sayyid Muhsin al-Musawa;
8. A1-’Allamah al-Adib al-Sayyid Muhammad Amin al-Kutbi al- Hanafi;
9. A1-’Allamah al-Syaikh Umar al-Faruq al-Maliki;
10. A1-’Allamah al-Kabir al-Syaikh Abdul Qadir al-Syalabi al-Hanafi;
Pada ilmu ‘Awrad, ia belajar pada:
1. A1-’Allamah Kiyai Falak Bogor;
2. A1-’Allamah al-Syaikh Malla Musa al-Maghrabi;
Sedangkan pada disiplin Ilmu al-Khath [Kaligrafi bahasa Arab, Ia belajar pada:
1. Al-Khaththath al-Syaikh Abdul Aziz Langkat;
2. A1-Khaththath al-Syaikh Muhammad al-Rais al-Maliki;
3. A1-Khaththath al-Syaikh Daud al-Rumani al-Fathani.
Jika diklasifikasikan guru-gurunya berdasarkan latar belakang
mazhab yang berbeda, maka akan terlihat katagorisasi mazhab sebagai
berikut:
1. 11 orang bermadzab Syafi’i;
2. 6 orang bermadzab Hanafi; dan
3. 11 orang bermadzab Maliki.
Berdasarkan katagorisasi mazhab di atas terlihat bahwa semua gurunya masih berada dalam satu faham teologis, yakni faham Ahlu Sunnah Wal Jama’ah.
Dengan kata lain, bahwa tidak ada seorangpun gurunya yang menganut
faham yang berbeda, seperti Mu’tazilah, Syi’ah ataupun Wahabi.
Dalam konteks menuntut ilmu, khususnya ilmu-ilmu agama yang
bersifat praktis, Tuan Guru Kyai Haji Muhammad Zainuddin Abdul Madjid
menekankan pemenuhan aspek-aspek moralitas, seperti sikap efektif dalam
memilih guru dan sikap hormat terhadap guru. Keduanya merupakan jalinan
sinergis yang bermuara pada kemanfaatan ilmu. Dalam terminologi agama,
kemanfaatan ini dikenal dengan istilah barakah, yang secara etimologi
berarti ziyadah al-khairi fi al asyya’ ‘ala ma tsabata fiha al khair [bertambahnya kebaikan pada sesuatu yang mengandung unsur kebaikan].
MASA PENGABDIAN DI TANAH AIR
1. Membuka Pesantren Al-Mujahidin Dan Pengajian Umum
Tuan Guru Kyai Haji Muhammad Zainuddin
Abdul Madjid setelah selarna 12 tahun menuntut ilmu di Tanah Suci Makkah
al-Mukarramah, diperintah gurunya, Syaikh Hasan Muhammad al-Masysyath
kembali ke kampung halamannya di Indonesia untuk menyebarkan ilmu
pengetahuan dan mendorong terbentuknya tatanan moralitas dan akhlaq yang
mulia di kalangan saudara seiman dan masyarakat pada umumnya. Perintah
gurunya ini, sempat ditolaknya dengan mengemukakan argumentasi, bahwa ia
masih ingin tetap belajar, bahkan ia ingin tetap tinggal dan mengabdi
di Tanah Suci saja. Namun gurunya tetap menolak argumentasinya itu,
karena peranannya di Indonesia akan lebih bermanfaat bagi pengembangan
keilmuan dan pemberdayaan terhadap masyarakat, dibandingkan jika ia
tetap berada di Makkah.
Setelah sampai di tanah kelahirannya, masyarakat langsung
mempercayainya sebagai imam dan khatib. Jabatan sebagai imam dan khatib
pada saat itu merupakan posisi yang penting dalam masyarakat,
setidaknya, karena posisi tersebut umumnya diisi oleh seseorang yang
memiliki kapabilitas keilmuan yang tinggi, atau biasa disebut “Tuan
Guru” dalam kultur masyarakat Lombok.
Disamping menjadi imam dan khatib, ia juga banyak melakukan safari
dakwah ke berbagai tempat di pulau lombok, sehingga ia mulai dikenal
secara luas oleh masyarakat. Masyarakat menyebutnya sebagai seorang anak
muda ‘alim yang memiliki integritas keilmuan, sehingga ia disebut
dengan “Tuan Guru Bajang”.
Sebutan Tuan Guru Bajang diperoleh setelah melalui
serangkaian proses uji di tengah-tengah masyarakat. Sekedar contoh, Tuan
Guru Haji Mukhtar dari Mamben tidak dengan serta merta mengamini
sebutan tersebut. Ia melakukan verifikasi terlebih dahulu dengan
sejumlah pertanyaan sebagai test case terhadap kapabilitas keilmuannya.
Setelah memperoleh jawaban-jawaban yang memuaskan, maka Tuan Guru Haji
Mukhtar mengakui kemampuannya, bahkan bertekad untuk mengirim anggota
keluarganya untuk menimba ilmu padanya.
Setelah mempunyai reputasi di masyarakat, ia kemudian mendirikan
pesantren al-Mujahidin pada tahun 1934 M. sebagai tempat pembelajaran
agama secara langsung bagi kaum muda. Pendirian ini dilatar belakangi
oleh keinginan untuk memberikan pelajaran agama yang lebih bermutu
kepada masyarakat, karena pada saat itu umumnya para tuan guru dalam
mengajarkan agama lebih banyak menggunakan kitab-kitab Arab Melayu,
seperti Bidayah, Perukunan, dan Sabil al-Muhtadin.
Pada awalnya Pesantren al-Mujahidin menerapkan sistem pembelajaran
dengan metode halaqah. Namun kemudian sistem ini dipandang kurang
efektif, karena pertama, sulitnya mengukur tingkat keberhasilan prestasi
santri, dan kedua, tidak dapat mengawasi secara maksimal proses
pembelajaran yang efektif. Akan tetapi, untuk menggantinya dengan sistem
klasikal murni, masih menghadapi kendala, terutama pada persoalan
kategori usia santri. Untuk itulah maka ia memperkenalkan sistem semi
klasikal, dengan gambaran ada beberapa perangkat kelas, seperti papan
tulis, sementara para santri tetap duduk di lantai dengan bersila. Di
samping itu, masih belum ada pembatasan usia.
Sistem semi klasikal ini, ternyata menarik perhatian masyarakat
setempat dan juga sangat di senangi oleh para santri. Hingga dalam waktu
yang singkat telah terdaftar ± 200 orang santri. Para santri tidak saja
berasal dari desa Pancor, tetapi juga dari luar. Melihat fenomena ini,
ayahnya langsung nembuat lokal-lokal kelas darurat di serambi dan di
belakang rumahnya. Prosesi belajar mengajar di pesantren ini,
berlangsung dari pukul 05.00 – 06.00 WIT, yang dikhususkan untuk
masyarakat dari kalangan orang-orang tua. Mereka juga disediakan waktu
pada malam hari. Adapun untuk anak-anak muda pelajaran dimulai dari jam
14.00 – 17.00 WIT.
Reputasinya semakin menjulang di kalangan masyarakat, sehingga ia
diminta untuk memberikan pengajian tetap di Masjid Jami’ Pancor, Lombok
Timur. Pengajian tersebut dimulai dari jam 09.00 – 12.00 WIT [sampai
tiba waktu dzuhur]. Pengajian tersebut dihadiri oleh masyarakat luas,
dari kalangan tua, muda dan bahkan para tuan guru, seperti Tuan Guru
Haji Abu Bakar Sakra, Abu Atikah, Tuan Guru Haji Azhar Rumbuk, Raden
Tuan Guru H. Ibrahim Sakra, dan lain-lain. Bahkan juga hadir gurunya
yang bernama Tuan Guru Haji Syarafuddin dari Pancor, turut juga dalam
pengajian tersebut Haji Ahmad Jemberana dari Bali.
Kitab-kitab yang dikaji dalam pengajian tersebut adalah kitab Minhaj al-Thalibin, Jam’al al-Jawami, Qatr al-Nada, Tafsir al-Jalalain dan lain-lainnya dari kitab-kitab Fiqih dan Tafsir.
MENDIRIKAN MADRASAH NAHDLATUL WATHAN DINIYAH ISLAMIYAH [NWDI]
Keberhasilan TGH. Zainuddin dalam memberikan pengajian menimbulkan
banyak iri dari orang lain yang merasa tersaingi, berbagai cobaan,
tantangan, dan berbagai reaksi minor dari masyarakat belum reda, maka
ada sebuah harapan datang, ketika seorang familinya, Haji Syazali
menawarkan tanahnya menjadi tempat pendirian madrasah. Tawaran tersebut
diterima dengan senang hati.
Untuk merespon tawaran tersebut, Tuan Guru Kyai Haji Muhammad
Zainuddin Abdul Madjid, kalangan keluarganya dan tokoh-tokoh masyarakat
bermusyawarah untuk merealisasikan cita-cita mendirikan madrasah. Fisik
bangunan madrasah pada awalnya tendiri dari 10 [sepuluh] lokal kelas
yang terdiri dari: 2 [dua] lokal untuk Bustan al-Athfal, 7
[tujuh] lokal untuk ruang belajar; dan 1 [satu] lokal untuk ruang
guru/kantor. Bangunannya sangat sederhana, bendinding pagar, dengan
tiang bambu dan beratap genteng.
Setelah pembangunan fisik madrasah dianggap selesai dan telah
dirumuskan berbagai persiapan untuk aktifitas belajar-mengajar, maka
Tuan Guru Kyai Haji Muhammad Zainuddin Abdul Madjid mengajukan sebuah
permohonan pendirian madrasah kepada pemerintah Hindia Belanda Kontrober
Oost Lombok di Selong Lombok Timur. Kemudian pemerintah Belanda
memberikan surat izin akte pendirin madrasah tersebut pada tanggal 17
Agustus 1936 M. Selanjutnya selang satu tahun berikutnya, yakni pada
tanggal 15 Jumadil Akhir 1356 H, yang bertepatan dengan tanggal 22
Agustus 1937 madrasah Nahdlatul Wathan Diniyah lslamiyah [NWDI]
diresmikan.
Bagi Tuan Guru Kyai Haji Muhammad Zainuddin Abdul Madjid, tanggal
17 Agustus 1936 di atas memiliki makna signifikan dan monumental, karena
9 [sembilan] tahun kemudian, yakni tanggal 17 Agustus 1945, bangsa
Indonesia memproklamasikan kemerdekaannya. Kondisi ini merupakan hikmah
tersendiri dalam perjalanan sejarah Madrasah Nahdlatul Wathan Diniyyah
Islamiah.
Nahdlatul Wathan Diniyah Islamiyah sebagai nama madrasah, adalah
nama yang berasal dari bahasa Arab. Secana etimologis, Nahdlah, berarti
penjuangan, kebangkitan, dan pergerakan. Wathan, berarti tanah, bangsa
atau negara. Sedangkan Diniyah Islamiyah, berarti agama Islam. Nama
tersebut merefleksikan suasana psikologis dan kondisi sosial pada saat
itu, terutama yang berkaitan dengan jargon-jargon jihad’ [penjuangan]
untuk menggelorakan semangat patriotisme dalam melakukan perlawanan
terhadap penetrasi kolonialisme Belanda dan Jepang, serta upaya
memberdayakan pendidikan untuk mencerdaskan masyarakat yang sedang
terpuruk dan terbelakang.
Dalam operasionalisasinya, Madrasah NWDI pada mulanya diklasifikasikan menjadi tiga tingkatan, yaitu: tingkat Ilzamiyah, Tahdhiriyah dan Ibtida’iyah. Tingkat Ilzamiyah
adalah tahap pernsiapan dengan lama belajar satu tahun. Murid-murid
pada tingkatan ini terdiri dari anak-anak yang belum mengenal huruf Arab
dan huruf latin. Tingkat Tahdhiriyah adalah kelanjutan dari tingkat Ilzamiyah
dengan lama belajar tiga tahun. Murid-muridnya selain berasal dari
lulusan tingkat Ilzamiyah, juga diterima lulusan dari sekolah dasar [Volgschool]. Materi pelajaran yang diberikan adalah tauhid, fiqh, dan pengetahuan dasar Qawa’id al-Lughah al-Arobiyyah. Sedangkan tingkat Ibtida’iyah adalah tingkatan terakhir setelah Tahdhiriyah dengan lama belajar empat tahun. Tingkatan ini selain menerima murid dari lulusan Tahdhiriyah, juga menerima dari lulusan sekolah dasar [volgschool]. Materi pelajaran pada tingkatan ini difokuskan pada materi Kitab Kuning, seperti Nahwu, Sharf Balaghah, Ma’ani, Badi’, Bayan, Manthiq, Ushul al-Fiqh, Tashawwuf dan lain-lain. Khusus pada kelas tenakhir [rabi’ ibtida’iy],
semua pelajaran agama mengacu kepada kurikulum madrasah
al-Shaulatiyyah. Aktivitas belajar mengajar pada semua tingkatan dimulai
dari pukul 07.30 – 13.00 WITA.
Madrasah ini selanjutnya terus mengalami kemajuan dan perkembangan
sehingga oleh pendirinya pada tanggal 15 Jumadil Akhir 1356 H,
bertepatan dengan tanggal 22 Agustus 1937 M, dipandang sebagai momentum
kemenangan moral perjuangan menegakkan syiar Islam. Sehingga saat itu
dan setiap tahunnya diperingati sebagai hari ulang tahun berdirinya
madrasah Nahdlatul Wathan Diniyah Islamiyah yang kemudian populer
disebut dengan HULTAH NWDI.
Berdirinya madrasah NWDI di Pancor, Lombok Timur, Nusa Tenggara
Barat, pada tahun 1937, mencatat sejarah baru dalam perkembangan
pendidikan Islam di Nusa Tenggara Barat. Paling tidak dengan penerapan
sistem klasikal dan klasifikasi siswa berdasarkan tingkatan, maka orang
mulai mengenal pendidikan Islam dengan sistem klasikal dan berjenjang,
sebagaimana pendidikan umum, seperti Sekolah Rakyat, atau
sekolah-sekolah yang didirikan pada masa kolonial. Atas dasar inilah,
madrasah ini dipandang sebagai pelopor pendidikan Islam modern di NTB.
MENDIRIKAN MADRASAH NAHDLATUL BANAT DINIYAH ISLAMIYAH [NBDI]
Berangkat dari kemajuan-kemajuan yang dicapai oleh Madrasah NWDI,
kemudian melahirkan gagasan untuk mendirikan lembaga pendidikan agama
yang dikhususkan untuk kaum perempuan. Karena, pada masa Pesantren
Al-Mujahidin, mereka juga mendapat kesempatan yang sama dengan kaum
laki-laki.
Gagasan mendirikan madrasah dimaksud dilatar belakangi oleh kondisi
sosial perempuan pada saat itu yang tersubordinasi oleh hegemoni kaum
laki-laki. Padahal keberadaannya memiliki peranan penting dalam
kehidupan masyarakat. Bentuk peranan aktual perempuan dalam konteks
kehidupan bermasyarakat dimulai dan peranannya sebagai ibu rumah tangga
dalam lingkup keluarga. Peranan ini memiliki signifikansi dalam
pembentukan karakter keluarga, seperti pendidikan anak, yang akhirnya
menentukan karakter masyarakat dalam lingkup yang lebih luas.
Di sisi lain, gagasan pendirian madrasah khusus untuk kaum
perempuan ini, merupakan pengejawantahan dari hadits Rasulullah SAW
mengenai kewajiban menuntut ilmu bagi kaum perempuan sama dengan
kewajiban bagi kaum laki-laki.
Sebagai realisasi dari pemikiran-pemikiran tersebut, maka pada
tanggal 15 Rabi’ul akhir 1362 H bertepatan dengan tanggal 21 April 1943,
resmilah berdiri sebuah madrasah khusus kaum perempuan yang diberi nama
dengan Madrasah Nahdlatul Banat Diniyyah Islamiyyah [NBDI].
Seperti halnya Madrasah NWDI, Madrasah NBDI juga memiliki makna
khusus bagi pendirinya. Setidaknya karena tanggal dan bulan berdirinya
dikemudian hari dikenal sebagai hari Kartini sebagai tonggak bagi
kebangkitan peran aktualisasi perempuan di Indonesia. Dalam
operasionalisasinya, Madrasah NBDI dipimpin langsung oleh Tuan Guru Kyai
Haji Muhammad Zainuddin Abdul Madjid, dan dibantu oleh Ustaz Lalu
Faishal, Ustaz Lalu Wildan, Ustaz Dahmuruddin Mursyid, dan lain-lain.
Pada awalnya, Madrasah NBDI dipusatkan di lokasi pesantren
al-Mujahidin pada sebuah bangunan yang terdiri dari tiga buah local,
dengan waktu belajar dari pukul 13.30 – 17.00 WITA. Sementara materi
pelajarannya mengacu kepada kurikulum Madrasah NWDI.
DINAMIKA PERJALANAN MADRASAH NWDI DAN NBDI
Setelah posisi kedua madrasah induk itu semakin mantap, ditambah
berkembangnya cabang-cabang di berbagai daerah, maka Madrasah NWDI dan
NBDI melakukan upaya-upaya pengembangan konstruktif dalam bidang
kurikulum, jenjang, dan jenis madrasah sesuai dengan perkembangan zaman.
Pada mulanya, semua kurikulum dan jenjang madrasah disesuaikan
dengan sistem yang berlaku di Madrasah al-Shaulatiyyah Makkah. Namun
pada tahun 1951, tingkat Tahdhiriyah ala Makkah itu di
reformulasi menjadi Ibtida’iyah ala Indonesia, yaitu Madrasah Ibtidaiyah
6 tahun, dengan kompisisi 60 % pengetahuan agama dan selebihnya, yaitu
40 % diberikan pengetahuan umum. Dan sebagai kelanjutannya, pada tanggal
2 November 1952 dibuka Sekolah Menengah Islam [SMI] dengan lama belajar
tiga tahun. Pada tahun yang sama, dibuka pula Madrasah Mu’allimin 4
tahun, Madrasah Mu’allimat 4 tahun, dan Pendidikan Guru Agama Pertama
[PGAP]. Seperti halnya tujuan pendirian SMI, madarasah dan sekolah ini
juga bertujuan menampung lulusan Madasarah Ibtida’iyah 6 tahun.
Selanjutnya pada tahun 1955/1956 dibuka Madrasah Muballighin dan
Muballighat. Pada tahun 1957 dibuka Madrasah Mu’allimin 6 tahun dan
Madrasah Mu’allimat 6 tahun. Keduanya merupakan perubahan dari Madrasah
NWDI dan NBDI. Dua tahun kemudian, pada tahun 1959, diresmikan
berdirinya Madrasah Menengah Atas [MMA], Madrasah Tsanawiyah, Madrasah
Aliyah, dan Pendidikan Guru Agama Lengkap [PGAL].
Perkembangan selanjutnya ditandai dengan dibukanya lembaga
pendidikan tinggi. Dimulai pada tahun 1964, dengan didirikannya Akademi
Paedagogik Nahdlatul Wathan. Selanjutnya pada tahun 1965 dibuka Ma’had
Darul Qur’an Wal Hadits A1-Madjidiyah Asy-Syafi’iyyah Nahdlatul Wathan,
yang mahasiswanya khusus pria dan Ma’had lil Banat yang dibuka pada
tahun 1974, dengan mahasiswa khusus perempuan. Pada tahun 1977 didirikan
Universitas HAMZANWADI.
Universitas yang disebut terakhir di atas, pada mulanya membuka dua
fakultas, yakni Fakultas Tarbiyah dan Fakultas Ilmu Pendidikan. Dalam
perkembangan selanjutnya, Fakultas Ilmu Pendidikan ini berubah menjadi
Sekolah Tinggi Ilmu Keguruan dan Ilmu Pendidikan [STKIP] HAMZANWADI dan
Fakultas Tarbiyah dirubah menjadi Sekolah Tinggi Ilmu Tarbiyah [STIT].
Kemudian pada tahun 1981 dibuka Sekolah Tinggi Ilmu Syari’ah [STIS], dan
pada tahun 1987 dibuka Sekolah Tinggi Ilmu Hukum [STIH].
Pada tahun akademik 1987/1988 diresmikan berdirinya Universitas
Nahdlatul Wathan yang berkedudukan di Mataram, Ibukota Propinsi Nusa
Tenggara Barat. Untuk tahap pertama dibuka 4 [empat fakultas], yaitu
Fakultas Teknologi Pertanian, Fakultas Perkebunan, Fakultas
Ketatanegaraan dan Ketataniagaan [FKK], dan Fakultas Sastra [Indonesia,
Arab, dan Inggris].
Disamping pendidikan tinggi, pada tahun 1974 mulai dibuka
pendidikan umum, seperti Sekolah Menengah Pertama [SMP], Sekolah
Menengah Atas [SMA], sekolah kejuruan, yakni Sekolah Pendidikan Guru
[SPG].
Di luar madrasah, sekolah, maupun perguruan tinggi, para santri
Madrasah NWDI dan NBDI melakukan kegiatan pendidikan kemasyarakatan yang
diberi nama Pemberantasan Buta Agama [PBA]. Pendidikan ini dikhususkan
bagi anggota masyarakat yang tidak mampu secara ekonomi mengikuti
pendidikan formal kemadrasahan.
Perkembangan dibidang kurikulum, semenjak perubahan kurikulum tingkat Tahdliriyyah NWDI terus berlangsung, sehingga terbentuk komposisi, sebagai berikut:
- Madrasah dan PGA mengikuti kurikulum dari Departemen Agama.
- Sekolah umum mengikuti kurikulum yang ditetapkan oleh Departemen Pendidikan dan Kebudayaan [Sekarang Departemen Pendidikan Nasional]
- Madrasah Mu’allimin dan Mu’allimat menggunakan kurikulum agama 55 % dan umum 45 %.
- Perguruan proyek khusus Nahdlatul Wathan memakai kurikulurn agama 90 % dan umum 10 %.
- Perguruan tinggi mengacu kepada kurikulum yang ditetapkan oleh Direktorat Pendidikan Tinggi Departemen Pendidikan dan Kebudayaan dan kurikulum yang ditetapkan oleh Direktorat Kelembagaan Agama Islam [Bagais] Departemen Agama.
Satu ciri khas pendidikan di lingkungan Nahdlatul Wathan, disamping
menggunakan kurikulum agama, sesuai dengan kebijaksanaan pemerintah,
juga diberi pengetahuan agama, yang bersumber dari kitab-kitab karangan
Imam Syafi’i. Hal ini sesuai dengan Anggaran Dasar bahwa Nahdlatul
Wathan menganut mazhab Syafi’i, maka pengetahuan agama dan kitab-kitab
Syafi’i adalah untuk diamalkan di kalangan warga Nahdlatul Wathan. Di
samping itu juga diberikan materi pelajaran Ke Nahdlatul Wathan-an
[Ke-NW-an] sebagai suatu materi pelajaran tersendiri di lingkungan
perguruan Nahdlatul Wathan pada umumnya.
Pesatnya perkembangan Madrasah di lingkungan Nahdlatul Wathan,
membenikan citra tersendiri bagi pendirinya. Sehingga mendapat julukan
sebagai Abu Al-Madaris Wa Al-Masajid [Bapak Madrasah dan Mesjid] oleh komunitas masyarakat Praya, Lombok Tengah.
MENDIRIKAN ORGANISASI NAHDLATUL WATHAN [NW]
1. Pengertian dan Latar Belakang Berdirinya
Organisasi Nahdlatul Wathan, yang selanjutnya disingkat NW, adalah
sebuah organisasi sosial kemasyarakatan yang bergerak dalam bidang
pendidikan, sosial, dan dakwah Islamiyah. Onganisasi ini didirikan oleh
Tuan Guru Kyai Haji Muhammad Zainuddin Abdul Madjid pada hari Ahad
tanggal, 15 Jumadil Akhir 1372 H bertepatan dengan tanggal 1 Maret 1953 M
di Pancor Lombok Timur, Nusa Tenggara Barat.
Adapun yang melatar belakangi berdirinya organisasi ini adalah
karena melihat pertumbuhan dan perkembangan cabang-cabang Madrasah NWDI
dan NBDI yang begitu pesat, di samping perkembangan aktivitas sosial
lainnya, seperti majlis dakwah dan majlis ta’lim dan lainnya. Untuk itu
diperlukan suatu wadah atau organisasi yang mewadahi dan mengorganisir
segala macam bentuk kebutuhan dan keperluan pengelolaan lembaga-lembaga
tersebut secara profesional.
Kemudian dalam rangka konsolidasi organisasi, Nahdlatul Wathan
telah melaksanakan rapat anggota untuk tingkat ranting, konfrensi untuk
tingkat Anak Cabang, Cabang, Daerah, Wilayah dan Perwakilan. Sedangkan
untuk tingkat Pengurus Besar diselenggaran muktamar.
Selanjutnya, setelah mengadakan muktamar I, hingga meninggalnya
Tuan Guru Kyai Haji Muhammad Zainuddin Abdul Madjid, organisasi
Nahdlatul Wathan tercatat telah mengadakan muktamar sebanyak 10 kali.
Adapun tempat, tanggal dan tahun terselenggaranya Muktamar tersebut,
adalah sebagai berikut :
1. Muktamar I tanggal 22-24 Agustus 1954 di Pancor
2. Muktamar II tanggal 23-26 Maret 1957 di Pancor
3. Muktamar III tanggal 25-27 Januari 1960 di Pancor
4. Muktamar IV tanggal 10-14 Agustus 1963 di Pancor
5. Muktamar V tanggal 29 Juli .- 1 Agustus 1966 di Pancor
6. Muktamar VI tanggal 24-27 September 1969 di Mataram
7. Muktamar VII tanggal 30 Nopember – 3 Desember 1973 di Mataram
8. Muktamar Kilat Istimewa 28-30 Januari 1977 di Pancor
9. Muktamar VIII tanggal 24-25 Februari 1986 di Pancor
10. Muktamar IX tanggal 3-6 Juli 1991 di Pancor
2. Legalitas Organisasi
Sebagai sebuah organisasi formal, eksistensi Nahdlatul Wathan
mendapatkan legalitas yuridis formal berdasarkan akte Nomor 48 tahun
1957 yang dibuat dan disahkan oleh Notaris Pembantu Hendrix Alexander
Malada di Mataram. Akte ini bersifat sementara, karena wilyah
yurisdiksinya hanya di Pulau Lombok, sehingga tidak memungkinkan untuk
mengembangkan organisasi ke luar wilayah yurisdiksi tersebut.
Untuk itu, dibuat akte nomor 50, tanggal 25 Juli 1960, di hadapan
Notaris Sie Ik Tiong di Jakarta. Kemudian pengakuan dan penetapan juga
diberikan oleh Menteri Kehakiman Republik Indonesia No. J.A.5/105/5
tanggal 17 Oktober 1960, dan dibuat dalam Berita Negara Republik
Indonesia Nomor 90, tanggal 8 November 1960.
Dengan legalitas akte kedua ini, maka organisasi Nahdlatul Wathan
mempunyai kekuatan hukum tetap untuk mengembangkan organisasinya ke
seluruh wilayah negara Republik Indonesia dari Sabang sampai Merauke,
sehingga setelah tahun 1960, maka terbentuklah pengurus Nahdlatul Wathan
di Bali, Nusa Tenggara Timur, Jawa Timur, Daerah Istimewa Yogyakarta,
Jakarta, Kalimantan, Sulawesi, danlain-lainnya, bahkan sampai ke daerah
Riau dengan status perwakilan.
Dengan adanya Undang-Undang Nomor 8 tahun 1985 tentang keormasan
yang antara lain berisi tentang penerapan Asas Tunggal bagi semua
organisasi kemasyarakatan, maka Nahdlatul Wathan dalam Muktamar ke-8 di
Pancor, Lombok Timur pada tanggal 15-16 Jumadil Akhir 1406 H atau
tanggal 24-25 Februari 1986 mengadakan peninjauan dan penyempurnaan
Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga organisasi. Perubahan Anggaran
Dasar dan Anggaran Rumah Tangga ini kemudian dikukuhkan dengan Akte
Nomor 3l tanggal 15 Februari 1987 dan Akte Nomor 32, juga tanggal 15
Februari 1987, yang dibuat dan disahkan oleh waki1 Notaris Sementara
Abdurrahim, SH. di Mataram. Dengan demikian, maka jelaslah eksistensi
dan legalitas formal organisasi Nahdlatul Wathan sebagai sebuah
organisasi sosial kemasyarakatan.
3. Aqidah, Asas, Tujuan dan Ruang Lingkup Organisasi
Organisasi Nahdlatul Wathan menganut faham aqidah Islam Ahlu al-Sunnah wa al-Jama’ah ‘ala Madzahib al-Iman al-Syafi’i
dan berasaskan Pancasila sesuai dengan Undang-Undang Nomor 8 tahun
1985. Sejak awal berdirinya, organisasi berasaskan Islam dan
kekeluargaan. Asasnya berlaku hingga Muktamar ke-3, dan kemudian diganti
dengan Ahlu al-Sunnah wa al-Jama’ah ‘ala Madzahib al-Iman al-Syafi’i. Perubahan ini terjadi mengingat khittah perjuangan kedua madrasah induk, NWDI dan NBDI.
Adapun sebagai landasan argumentasi Nahdlatul Wathan menganut aqidah Ahlu al-Sunnah wa al-Jama’ah ‘ala Madzahib al-Iman al-Syafi’i adalah sebagai berikut :
1. Sabda Nabi Muhammad SAW yang diriwiyatkan oleh Imam Tirmidzi dan Imam al-Bukhari dalam Tarikh al-Kabir al-Baihaqi dalam Syu‘ab al-Imam, Abu Dawud, Ibn Huzaimah, Ibn Hibban dan lain-lain yang artinya :
“Hendaklah kamu bersama golongan terbesar [mayoritas] dan
pertolongan Allah selalu bersama golongan mayoritas, maka barang siapa
yang memisahkan diri [dari komunitas jama’ah] maka mereka termasuk dalam
golongan orang-orang ahli neraka.” [HR Tirmidzi].
“Allah tidak menghimpun ummat ini dalam kesesatan selama-lamanya dan pertolongan Allah selalu bersama golongan mayoritas.” [HR al-Thabrani].
2. Fakta sejarah menunjukkan bahwa mayoritas umat Islam sedunia dari abad ke abad adalah Ahlu al-Sunnah wa al-Jama’ah dan bermadzhab dengan salah satu madzhab yang empat dari sejak lahir madzhab itu.
3. Umat Islam Indonesia sejak awal telah menganut aqidah Ahlu al-Sunnah wa al-Jama’ah dan menganut madzhab Syafi’i sejak madzhab masuk ke Indonesia.
4. Imam-Imam Hufadz al-Hadits yang telah hafal beratus-ratus
ribu hadits yang diakui oleh kawan atau lawan akan keimanan, ketaqwaan
dan keahilan mereka, serta karangan mereka telah menjadi pokok dan dasar
pegangan umat Islam sedunia sesudah al-Qur’an al Karim, sepenti Imam
Bukhari, Imam Muslim, Imam Abu Dawud, Imam Turmudzi, Imam Baihaqi, Imam
Nasa’i, Imam Ibnu Majah, Imam Hakim dan lain-lainnya dan ratusan Imam
ahli al-hadits. Semuanya menganut aqidah Ahlu al-Sunnah wa al-Jama’ah
dan bermadzhah Syafi’i atau yang lainnya dari madzhah yang empat.
Demikian juga dari Imam-imam dan ulama fiqh, ushul, tasawwul merekapun
menganut aqidah Ahlu al-Sunnah wa al-Jama’ah dan juga bermadzhab.
5. Jumhur ulama ushul menandaskan bahwa orang yang belum
sampai tingkatan ilmunya pada tingkatan mujtahid muthlaq maka wajib
bertaqlid kepada salah satu madzhab empat dalam masalah furu’ syari’ah.
6. Fuqaha ‘Ahl al-Sunnah wa al-Jama’ah mengatakan bahwa
bermadzhab bukanlah berarti membuang atau membelakangi al Qur’an dan
Hadits seperti tuduhan sementara orang. Namun sebaliknya bermadzhab
adalah benar-benar mengikuti Al-Qur’an dan Hadits karena kitab-kitab itu
adalah syarah dan Al-Qur’an dan Hadits itu sendiri.
7. Imam Sayuti yang hidup pada awal abad 10 H yang terkenal
sangat ahli dalam berbagai disiplin ilmu pengetahuan Islam.
Karangan-karangan beliau kurang lebih 600 buah kitab, yang sangat
penting dan bernilai tinggi dikalangan Islam. Beliau memperoleh gelar “Amir al-Mukminin Fi al-Hadits”
[raja umat Islam dalam ilmu hadits] karena beliau telah menghafal
ratusan ribu hadits. Pernah suatu ketika beliau menyatakan dirinya telah
mencapai tingkat mujtahid dan terlepas dari madzhab yang diantaranya,
yaitu madzhab Syafi’i. Maka segeralah beliau diserang oleh para Imam
ulama’ fiqh, mufassir, muhaddits dan ahli ushul dengan alasan dan dalil
yang sangat jitu dan tepat. Akhirnya beliau dengan jujur dan penuh
kesadaran mencabut pernyataannya dan kembali bertaqlid serta bermadzhab
dengan madzhab Syafi’i.
8. Madzhab Syafi’i dilihat dari segi sumber atau dasarnya, lebih unggul dibandingkan dengan madzhab-madzhab yang lain.
Sedangkan tujuan organisasi ini adalah Li I’laai Kalimatillah wa Izzi al-Islam wa al-Muslimin dalam rangka mencapai keselamatan serta kebahagiaan hidup di dunia dan akhirat sesuai dengan ajaran Islam Ahlu al-Sunnah wa al-Jama’ah ‘ala Madzahib al-Iman al-Syafi’i Radliyallahu ‘anhu.
Tujuan ini merupakan penggabungan dan tujuan organisasi dan asas
organisasi sebelum Undang-Undang Nomor 8 tahun 1985 diberlakukan.
Peserta Muktamar ke-8 menghendaki agar asas organisasi terdahulu tidak
dihilangkan dengan adanya ketentuan Asas Tunggal. Kompromi yang dapat
dilakukan adalah memindahkan pernyataan tentang asas Islam tersebut ke
dalam tujuan organisasi, sehingga makna esensial asas tersebut tidak
hilang.
4. Lambang Organisasi
Lambang Organisasi Nahdlatul Wathan adalah “Bulan Bintang Bersinar
Lima”, dengan warna gambar putih dan warna dasar hijau. Lambang ini
memliki makna, sebagai berikut :
a) Bulan melambangkan Islam
b) Bintang melambangkan Iman dan Taqwa
c) Sinar Lima melambangkan Rukun Islam
d) Warna gambar putih melambangkan ikhlas dan istiqomah
e) Warna dasar hijau melambangkan selamat bahagia dunia akhirat
5. Badan-Badan Otonom Organisasi
Organisai Nahdlatul Wathan merupakan organisasi kader, yang
memiliki badan-badan otonom sebagai wahana pengkaderan bagi kader-kader
organisasi di masa depan. Badan-badan otonom tersebut, terdiri dari:
1. Muslimat Nahdlatul Wathan [Muslimat NW]
2. Pemuda Nahdlatul Wathan [Pemuda NW]
3. Ikatan Pelajar Nabdlatul Wathan [IPNW]
4. Himpunan Mahasiswa Nahdlatul Wathan [HIMMAH NW)
6. Persatuan Guru Nahdlatul Wathan [PGNW]
7. Jam’iyyatul Qura’ wal Huffazh Nahdlatul Wathan
8. Ikatan Sarjana Nahdlatul Wathan [ISNW]
9. Ikatan Puteri Nahdlatul Wathan [Nahdliyat NW], dan
10. Badan Pengkajian, Penerangan dan Pengembangan Masyarakat Nahdlatul Wathan [BP3M]
Badan-badan otonom ini masing-masing mempunyai Anggaran Dasar dan
Anggaran Rumah Tangga yang tidak boleh bertentangan dengan Anggaran
Dasar dan Anggaran Rumah Tangga Organisasi Nahdlatul Wathan. Badan-badan
otonom ini bilamana hendak mengadakan hubungan atau tindakan keluar
harus terlebih dahulu mendapat persetujuan Pengurus Besar dan restu
Dewan Mustasyar Pengurus Besar.Sumber : http://cyonsa91.blogspot.com/2012/07/sejarah-nahdlatul-wathan_16.html#
Posted by 09.52 and have
0
komentar
, Published at
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
jangankan lupa tinggalkan komentar anda untuk kelangsungan blog kami