KH. Lalu Gede M. Zainuddin Atsani, Lc., M.Pd.I. atau dikalangan warga Nahdlatul Wathan lebih dikenal dengan panggilan Tuan Guru Bajang (lahir di Pancor, Lombok Timur, Nusa Tenggara Barat, 6 Januari 1981; umur 31 tahun) adalah cucu sekaligus penerus perjuangan Tuan Guru Kiyai Haji Muhammad Zainuddin Abdul Madjid, yang saat ini menjabat sebagai Ketua Umum Pengurus Wilayah Nahdlatul Wathan Nusa Tenggara Barat periode 2012-2017.
Lalu Gede Muhammad Zainuddin Atsani lahir dari pasangan Drs. H. Lalu Gede Wiresentane – Hj. Sitti Raihanun Zainuddin Abdul Madjid
(putri bungsu Maulana Syaikh TGKH. Muhammad Zainuddin Abdul Madjid).
Oleh kakeknya, yang juga merupakan pendiri Nahdlatul Wathan (organisasi
Islam terbesar di NTB), Ia diberikan nama Zainuddin Atsani yang berarti
Zainuddin
Kedua, yang sejak dalam kandungan sudah dipersiapkan untuk menjadi
pengganti sekaligus pemimpin perjuangan Nahdlatul Wathan. Dan sejak
berumur 9 bulan, Ia sudah diberikan gelar Tuan Guru Bajang oleh
kakeknya.
Al-Maghfurlah Maulana Syaikh TGKH. M.
Zainuddin Abdul Madjid adalah seorang panutan, yang memegang teguh
ajaran Islam bermazhab Syafi’i. Keteguhan dalam memegang ajaran agama
diimplementasikan dalam kehidupannya, baik sebagai seorang pemimpin umat
maupun sebagai kepala rumah tangga. Bagaimanapun cintanya terhadap
seseorang, namun kalau salah menurut agama, unsur-unsur
subjektivitasnya-pun tidak akan mampu mengalahkan hukum agama yang
melekat dalam dirinya.
Seperti itulah suasana keagamaan yang
dikembangkan Maulana Syaikh entah sebagai pemimpin organisasi, warga
negara, pemimpin umat, maupun sebagai kepala keluarga. Dari rahim
istri-istrinya hanya dikaruniai 2 orang putri, Hj. Rauhun dari rahim
istrinya Hj. Johariah dan Hj. Sitti Raihanun Zainuddin Abdul Majid
(Ketua Umum PB NW sekarang) terlahir dari wanita keturunan ulama asal
Jenggik Lombok Timur, Hj. Rahmatullah. Dari kedua putri tersebut
terlahir 12 orang cucu laki dan perempuan. Dan sebagai seorang ulama
besar tentu merindukan seorang pengganti yang akan meneruskan
perjuangannya membesarkan organisasi. Dari semua cucunya, Zainuddin
Atsani, satu-satunya cucu yang diberikan gelar Tuan Guru Bajang oleh
Al-Maghfurlah Maulana Syaikh. Bahkan gelar tersebut diberikan sejak
Zainuddin bisa berjalan dalam usia 9 bulan. “Ia dipangil Tuan Guru Bajang oleh Tuan Guru ( Maulana Syaikh) sejak baru bisa berjalan, dan usianya baru 9 bulan”
tutur Ummi Hj. Rahmatullah istri Maulana Syaikh yang masih hidup. Sejak
itulah Zainuddin Atsani dikenal sebagi Tuan Guru Bajang oleh
masyarakat. Dan mendapat perlakuan yang cukup positif dari jamaah.
Bahkan Maulana Syaikh pernah berbicara dihadapan jamaah pengajian “Mele mek gitak aku ke? Mek gitak wah tuan guru bajang. Iye wah foto kopian-ku” (mau kalian lihat saya? Kalian lihat sudah tuan guru bajang. Dia sudah foto kopian/duplikat saya).
Maulana Syaikh terkenal memiliki tingkat
keilmuan yang tinggi, yang tentu tidak mudah mengambil keputusan untuk
memberikan gelar pada seseorang. Bukan lantaran Zainuddin Atsani adalah
seorang cucu, namun karena Zainudin Atsani memang telah memiliki
keunikan tersendiri sejak masih dalam kandungan, buktinya dari 7 cucu
laki-laki tidak satupun dari mereka diberi gelar Tuan Guru Bajang
kecuali Tuan Guru Bajang Zainuddin Atsani.
Rupanya gelar Tuan Guru Bajang yang
diberikan pada cucunya ini merupakan motivasi awal perkawinan antara
Maulana Syaikh dengan istrinya Hj. Rahmatullah yang konon satu-satunya
istri yang dipilihkan oleh orang tua Maulana Syaikh, TGH. Abdul Majid.
Karena Hj. Rahmatullah ini keturunan seorang ulama dengan harapan agar
keturunannya nanti bisa melahirkan seorang ulama pula. “Sejak saya
berumur 10 tahun orang tua Tuan Guru (TGH. Abdul Majid) sudah
membicarakan dengan orang tua saya untuk menikahkan saya dengan tuan
guru. Padahal pada saat itu saya tidak pernah berfikir untuk menikah,
saya bilang sama TGH. Abdul Majid bahwa saya tidak akan menikah sampai
tua” tutur Hj. Rahmatullah.
Baru setelah Hj. Rahmatullah berumur 20
tahun dinikahkan dengan Maulana Syaikh dan setelah 15 tahun usia
perkawinan baru dikaruniai seorang putri, Hj. Sitti Raihanun Zainuddin
Abdul Majid (ibunda Tuan Guru Bajang KH. Lalu Gede M. Zainuddin Atsani).
Pada saat Hj. Sitti Raihanun mengidam anak-anaknya, Hj. Rahmatullah
selalu mendapatkan firasat dan pertanda bahwa Hj. Sitti Raihanun akan
hamil, “setiap anakku, Hj. Sitti Raihanun hamil selalu dijaga sama ular dan selalu saya bermimpi dan melihat sesuatu”
tuturnya. Namun yang aneh, katanya, pada Zainuddin Atsani, dia tidak
melihat apa-apa dan tidak dijaga ular seperti cucu-cucunya yang lain.
Ternyata pertanda kehamilan itu diketahui oleh Maulana Syaikh. Kala itu
Maulana Syaikh memerintahkan Hj. Rahmatullah untuk membuka semua jahitan
pakaian Hj. Sitti Raihanun. “Saya disuruh untuk melepaskan semua
jahitan pakaian yang biasa dikenakan Hj. Sitti Raihanun untuk disimpan,
Raihanun akan hamil tolong lepaskan semua jahitan pakaian yang
dikenakannya dan disimpan” tutur Hj. Rahmatullah meniru perkataan suaminya.
Zainuddin Atsani lahir pada tanggal 6
Januari 1981 di Rumah Desa (Gedeng Dese) yang juga tempat lahirnya
Maulana Syaikh. Beliau terlahir dari pasangan Drs. H. Lalu Gede
Wiresentane – Hj. Sitti Raihanun Zainuddin Abdul Madjid (putri bungsu
Maulana Syaikh). Ketika itu, Zainuddin Atsani lahir dalam keadaan bersih
tanpa darah. Maulana Syaikh langsung menimangnya sambil memperhatikan
seluruh badan cucunya. Hal ini berlangsung selama beberapa hari sebelum
diberikan nama. Tidak lama kemudian Hj. Rahmatullah dipanggil Maulana
Syaikh, “ni wah pengentikku, iye taok jak turunan aranku, Zainuddin Atsani ye jari aranan”
(ini sudah yang akan menggantikan saya, dialah tempatnya akan turun
nama saya, Zainuddin Atsani itulah jadi namanya) tutur Hj. Rahmatullah
lagi-lagi menirukan perkataan Maulana Syaikh.
Oleh Maulana Syaikh, Hj. Rahmatullah diminta untuk menyampaikan kepada Hj. Sitti Raihanun “Badaq Sitti Raihanun, ni wah penggentikku, Zainuddin Atsani iye arane. Suruk Sitti Raihanun badaq Wiresentane”
(Beritahu Sitti Raihanun, ini sudah penggantiku, Zainuddin Atsani
itulah jadi namanya. Suruh Sitti Raihanun memberitahu Wiresentane).
Setelah Drs. H. Lalu Gede Wiresentane mendapat pesan dari Maulana
Syaikh, beliau menjawab “Napi-napi pekayun Maulana Syaikh, tiang terima dengan ikhlas”
(Apapun yang disampaikan oleh Maulana Syaikh, saya terima dengan
ikhlas). Hal ini menunjukkan ketaatan dan kehormatan Drs. H. Lalu Gede
Wiresentane kepada Maulana Syaikh. Akhirnya putra Drs. H. Lalu Gede
Wiresentane diberikan nama Muhammad Zainuddin Atsani. Akan tetapi karena
Drs. H. Lalu Gede Wiresentane merupakan keturunan bangsawan dari
Bonjeruk, maka ditambahkanlah kata “Lalu” dan “Gede”, sehingga menjadi Lalu Gede Muhammad Zainuddin Atsani.
Pembangunan MAK Pancor
Suatu ketika, disaat persiapan
pembangunan MAK (Madrasah Aliyah Keagamaan) di Pancor, H. Muksin Makbul
menghadap kepada Maulana Syaikh untuk menyampaikan dana pembangunan MAK
di Pancor. Pada saat itu, Maulana Syaikh dalam bahasa Sasak mengatakan “Wah anta laporan tipak tuan guru bajang? Lapor juluk ito, dait berunding kanca tuan guru bajang!” (Sudah anda melaporkan ke tuan guru bajang? Lapor dulu sana, dan berdiskusi dengan tuan guru bajang!).
Peristiwa Kebon Ayu
Pada suatu ketika, Maulana Syaikh akan
mengadakan pengajian sekaligus meresmikan sebuah madrasah di desa Kebon
Ayu – Gerung – Lombok Barat. Akan tetapi, oleh Bupati Lombok Barat, yang
pada saat itu dijabat oleh H. L. Mujitahid, Maulana Syaikh dilarang
mengadakan pengajian di desa Kebon Ayu dengan alasan orang-orang Kebon
Ayu tidak setuju. Akan terjadi keributan jika sampai Maulana Syaikh
mengadakan pengajian. Kebetulan tokoh penentang itu bernama Amaq Ribut.
Untuk membahas masalah ini, Pengurus Daerah NW Kabupaten Lombok Barat
dipanggil oleh Bupati Lombok Barat. Hadir dalam pertemuan itu antara
lain Bupati, Muspida, Dandim, serta Kapolres Lombok Barat. Dihadapan
peserta yang hadir, Bupati mengatakan agar Maulana Syaikh jangan sampai
pergi ke Kebon Ayu untuk menghadiri pengajian tersebut, dan tidak akan
bertanggung jawab terhadap keselamatan Maulana Syaikh jika sampai
terjadi apa-apa di Kebon Ayu.
Akan tetapi, pada hari-H, Maulana Syaikh
tetap berangkat ke Kebon Ayu. Bersama rombongan, Maulana Syaikh
berangkat dari rumah Pajang. Beberapa orang yang turut serta dalam mobil
rombongan Maulana Syaikh diantaranya Drs. H. Alidah Nur, H. Sulaeman,
H. Yahya, H. Sabir, H. Mustafa dan Tuan Guru Bajang yang duduk dalam
pangkuan Maulana Syaikh. Pada saat itu, Tuan Guru Bajang masih sangat
kecil.
Dalam perjalanan ke Kebon Ayu, terlihat
disepanjang jalan penjagaan sangat ketat. Tentara disebar sepanjang
jalan setiap kurang lebih 40 meter. Hal ini dilakukan agar jangan sampai
Maulana Syaikh sampai ke Kebon Ayu. Begitu pula dengan orang-orang yang
berkendara/berjalan ke arah Kebon Ayu, yang menggunakan peci ataupun
pakaian seakan-akan pergi pengajian, pasti akan dicegat oleh aparat yang
berjaga. Akan tetapi, berkat kekeramatan Maulana Syaikh dan atas
pertolongan Allah SWT, tidak ada satupun aparat dan Muspida (yang
berjaga disepanjang jalan) melihat mobil Maulana Syaikh. Sesampainya
Maulana Syaikh dilokasi pengajian, jamaah bertangisan karena menyangka
Maulana Syaikh tidak akan datang karena situasi yang sedang genting.
Dihadapan jamaah pengajian, Maulana Syaikh sambil memangku Tuan Guru
Bajang, berulang-ulang kali mengatakan “kacang arane ine, lemak lamun uwah beleq tuan guru bajang sine, mesak-mesakne ngadepin sak ngene-ngene” (kacang namanya ini, besok kalau sudah besar tuan guru bajang ini, sendirian dia akan menghadapi yang seperti ini).
Malam wafatnya Maulana Syaikh
Pada malam wafatnya Maulana Syaikh
(maghrib, malam rabu), duduk dihadapan pembaringan Maulana Syaikh, Drs.
H. Lalu Gede Wiresentane, H. Maksum, dan Drs. H. Alidah Nur. Sedangkan
Tuan Guru Bajang yang kala itu tengah beranjak remaja, duduk disamping
pembaringan Maulana Syaikh hingga larut malam. Tiba-tiba Hj. Rahmatullah
(Ninik Tuan Guru Bajang) memanggil Tuan Guru Bajang “Gede wah jauk malem ne, bekelor juluk jauk malem ne” (Gede sudah larut malam ini, makan dulu sudah larut malam ini). Lantas Tuan Guru Bajang menjawab “Nggih, masih ne tiang ngantih juluk, masih ndekne man” (Iya, masih ini saya menunggu dulu, masih belum), tanpa sedikitpun beranjak dari pembaringan Maulana Syaikh.
Menurut penuturan saksi mata yang hadir
pada saat itu, posisi duduk Tuan Guru Bajang di samping pembaringan
Maulana Syaikh, Tuan Guru Bajang duduk dengan menekukkan kaki kebelakang
(seperti posisi tahiyat awal) sembari mendekatkan mukanya
berhadap-hadapan dengan muka Maulana Syaikh. Dan beberapa kali kaki
Maulana Syaikh terlihat bergerak-gerak.
Riwayat pendidikan
Riwayat pendidikan Raden Tuan Guru Bajang
KH. Lalu Gede M. Zainuddin Atsani Lc., M.Pd.I. juga sama dengan riwayat
pendidikan Maulana Syaikh sebagai alumnus Madrasah As-Shaulatiyah
Makkah Al-Mukarramah pada tahun 2007. Gelar Lc diraih di Universitas
Jami’atul Ulum Waa Technologyiah Yaman, Jurusan Syari’ah Islamiyah pada
tahun 2007. Pada tahun 2011, beliau berhasil meraih gelar Magister
Pendidikan Islam di Universitas Darul Ulum Jombang. Dan saat ini, beliau
sedang menempuh pendidikan S3 di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
Kiprah Raden Tuan Guru Bajang
Sebagai tokoh sentral organisasi dalam
mengembangkan organisasi Nahdlatul Wathan, Raden Tuan Guru Bajang KH.
Lalu Gede M. Zainuddin Atsani mendapatkan kepercayaan di berbagai posisi
penting, antara lain:
- Penasehat Ikatan Pelajar Nahdlatul Wathan Kabupaten Lombok Barat tahun 1995,
- Ketua Ikatan Pelajar Mahasiswa Nahdlatul Wathan Makkah tahun 2001-2007,
- Wakil Ketua Yayasan Al-Masyhur NW Praya tahun 2007 – sekarang,
- Pimpinan KBIH NW Mataram tahun 2009 – sekarang,
- Wakil Ketua Yayasan Pondok Pesantren Syaikh Zainuddin NW Anjani tahun 1999-2011,
- Sekretaris Persatuan Alumni As-Shaulatiyah NW (PAS NW) tahun 2011 – sekarang,
- Sekretaris Yayasan Pondok Pesantren Syaikh Zainuddin NW Anjani tahun 2011 – sekarang,
- Rektor IAIH NW Lombok Timur tahun 2012 – sekarang,
- Ketua Pengurus Wilayah NW NTB periode 2012-2017.
Kehadiran Raden Tuan Guru Bajang KH. Lalu
Gede M. Zainuddin Atsani dalam melanjutkan perjuangan Al-Maghfurlah
dalam membesarkan organisasi membuat jamaah NW merasa memiliki kekuatan
baru. Bagi beliau, organisasi NW merupakan amanah yang harus tetap
dijaga dan dikembangkan sesuai dengan khittah yang telah ditetapkan
Al-Maghfurlah. “Saya berharap warga NW tetap bersatu merapatkan
barisan dibawah ketua umum PB yang sah, Hj. Sitti Raihanun Zainuddin
Abdul Majid, sesuai wasiat ninik. PB itu satu bukan dua atau tiga, itu
yang harus kita pegang teguh sebagai warga NW” ingat Tuan Guru Bajang KH. Lalu Gede M. Zainuddin Atsani dalam setiap pengajiannya.
Lahir | 6 Januari 1981 Lombok Timur, NTB |
---|---|
Nama panggilan | Tuan Guru Bajang |
Dikenal karena | Ketua PW Nahdlatul Wathan NTB Rektor IAIH NW Lombok Timur |
Agama | Islam |
Pasangan | Hj. Oryza Sativa |
Anak | Lale Nawwarun Nisa RS Lalu Gede M. Rafi Qoisar Abdul Madjid |
Referensi
- Atsani, Zainuddin (2012). Role Model Pergerakan Nahdlatul Wathan. Penebar Kebaikan (Fi Al-Khair) & Penggerak Kemajuan (Fastabiq Al-Khairat). Mataram: PW NW NTB.
Pranala luar
- (Indonesia) Website Resmi Nahdlatul Wathan
- (Indonesia) Biografi Singkat Tuan Guru Bajang KH. Lalu Gede M. Zainuddin Atsani, Lc., M.Pd.I.
- (Indonesia) Biografi Singkat Raden Tuan Guru Bajang
- (Indonesia) NW NTB Laksanakan Muswil ke XII, TGB. HL Gede Zainuddin At-Tsani Terpilih Secara Aklamasi
- (Indonesia) Muqaddimah NWDI Ke-77 Jawab Aspirasi Masyarakat, TGB akan “Jango” Madrasah
- (Indonesia) Akun Facebook Resmi Tuan Guru Bajang
Posted by 09.46 and have
0
komentar
, Published at
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
jangankan lupa tinggalkan komentar anda untuk kelangsungan blog kami